Persetujuan pihak-pihak bertikai di Yaman untuk bertemu di Jenewa pekan depan tidak serta merta mengurangi tensi perang di negeri itu
![Menunggu “Kejutan” Dari Yaman [1]](http://www.hidayatullah.com/files/bfi_thumb/Riyadh-Meeting1-2z9xiia2x22ory20qp3uv4.jpg)
SPA
Pertemuan Riyadh membahas perkembangan Yaman
Oleh: Musthafa Luthfi
OPERASI militer negara-negara sekutu pimpinan Arab Saudi dengan nama sandi Aashifatul Hazm (Badai Menentukan) untuk mengembalikan pemerintahan sah di Yaman telah memasuki bulan ketiga. Bila upaya politis untuk mengatasi krisis di negeri Ratu Sheba itu tidak mengalami kemajuan berarti, dipastikan perang akan berlarut seperti kejadian di Suriah.
Kekhawatiran upaya penyelesaian politis bakal gagal sempat terbersit pada minggu terakhir Mei 2015 ketika diumumkan pertemuan di Kota Jenewa, Swiss ditunda untuk waktu yang tidak ditentukan. Pertemuan ini bertujuan untuk menfasilitasi faksi-faksi yang bertikai di Yaman agar dapat duduk bersama mencari penyelesaian politis guna mengakhiri pertikaian bersenjata di negara itu.
Pertemuan Jenewa membuka peluang lebar bagi penyelesaian politis untuk menghentikan pertikaian bersenjata. Karenanya banyak pihak yang kecewa ketika Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Yaman, Ismail Walad Sheikh Ahmad mengumumkan pada 26 Mei lalu tentang penundaan pertemuan tersebut untuk waktu yang tidak ditentukan.
Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik yakni pemerintahan sah dibawah pimpinan Presiden Abdurrabbu Mansyur Hadi di satu pihak dan kelompok pemberontak Syiah Hautsi dan mantan Presiden Ali Abdullah Saleh di pihak lain sama-sama mengklaim bahwa pihak lawan lah sebagai penyebab penundaan itu.
Pemberontak Syiah Al Hautsi (Al-Houthi) dan kubu mantan Presiden yang masih menguasai sebagian besar angkatan bersenjata Yaman dinilai ”setengah hati” berunding dengan pemerintahan sah. Kedua kubu (Hautsi dan Saleh) yang sebelumnya adalah musuh bebuyutan namun bersekutu menjatuhkan pemerintahan sah ditengarai ingin melanjutkan petualangan militer untuk memaksa masyarakat internasional menerima realita.
Realita dimaksud adalah bahwa Yaman tidak lagi berada dibawah pemerintahan Hadi yang dinilai lemah tanpa dukungan militer, namun negeri itu berada dibawah kekuasaan mantan Presiden Saleh dan sekutunya Hautsi yang unggul secara militer. Namun upaya pemberontak Hautsi (Al-Houthi) dan mantan Presiden Saleh yang pernah berkuasa lebih dari tiga puluh tahun itu dimentahkan oleh Resolusi PBB nomor 2216.
Resolusi tersebut intinya berisi tuntutan kepada pemberontak Hautsi dan Saleh untuk segera mengundurkan diri dari seluruh wilayah yang didudukinya dan mengembalikan semua senjata yang dikuasainya ke pemerintah yang sah. Resolusi ini juga sempat menjadi kendala pertemuan Jenewa tersebut ketika Presiden Mansyur Hadi menuntut Syiah al-Hautsi dan Saleh melaksanakan resolusi itu sebagai pra syarat kesedian pemerintah berunding di Jenewa.
Melihat kebuntuan tersebut, AS yang telah berhasil mencapai kata sepakat dengan Iran terkait program nuklir negeri Persia itu mencoba melakukan terobosan dengan melakukan pertemuan dengan Hautsi di Muscat Oman.
Pertemuan AS dengan Hautsi yang didukungan Iran itu ternyata berjalan lancar sehingga lobi negeri Paman Sam itu berhasil meyakinkan kelompok Syiah ini untuk berunding di Jenewa tanpa syarat.
Kebekuan upaya penyelesaian politis di negeri itu akhirnya mencair karena sebelum Hautsi menerima untuk berunding pemerintahan Hadi juga lebih dahulu menyatakan kesediaan untuk hadir dalam pertemuan Jenewa yang dijadwalkan pada 14 Juni mendatang. Hal ini oleh banyak pengamat dinilai sebagai pembuka jalan bagi Yaman menuju fase politik baru.
Sayangnya persetujuan pihak-pihak bertikai di Yaman untuk bertemu di Jenewa pekan depan tidak serta merta mengurangi tensi perang di negeri itu. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa serangan udara sekutu terus berlanjut, di lain pihak Hautsi dan Saleh meningkatkan aksinya dengan menyerang wilayah perbatasan Arab Saudi yang mereka sebut sebagai balasan atas serangan udara sekutu.
Empat faktor
Terlepas dari situasi perang yang masih berkecamuk, upaya penyelesaian politis yang diprakarsai PBB di Jenewa tersebut perlu mendapat perhatian dan dukungan penuh masyarakat internasional.
Pasalnya kekuatan senjata sulit menjadi penentu penyelesaian damai apalagi dengan kondisi di Yaman yang seluruh warganya memiliki senjata api dan para pemimpin kabilah pun memiliki milisi khusus.
Perlu pula dicatat bahwa operasi militer sekutu pimpinan Saudi ke Yaman intinya bertujuan untuk memaksa pemberontak Hautsi dan Saleh kembali melanjutkan dialog nasional sesuai kesepakatan sebelumnya yang diprakarsai oleh negara-negara Teluk. Serangan sekutu tersebut dilakukan setelah Hautsi dan Saleh secara sepihak melanggar kesepakatan dan menggunakan kekuatan militer menggulingkan pemerintahan sah dan berusaha menguasai Yaman.
Memang banyak pihak di Yaman yang khawatir pertemuan Jenewa tersebut dapat dimanfaatkan Hautsi dan Saleh untuk menyelamatkan diri dengan mengorbankan rakyat Yaman yang mayoritas antipati terhadap keduanya. Namun kali ini Hautsi dan Saleh kelihatannya tidak bisa lagi ”mempermainkan” masyarakat dunia setelah mereka menjadi penyebab utama meletusnya perang saudara di negeri itu.
Setidaknya ada empat faktor yang menyebabkan Hautsi setuju berunding di Jenewa.
Pertama, adalah serangan badai penentuan yang menandai bahwa Saudi dan sekutunya di Teluk dan Arab tidak bisa lagi mentolerir upaya-upaya Iran menguasai negara Arab dengan menanam pengaruhnya lewat milisi bersenjata di Yaman seperti yang dilakukannya di Libanon lewat milisi Syiah Hizbullah.
Faktor kedua, adalah Al-Hautsi dan Saleh beserta pasukannya dianggap berada di luar kerangka legitimasi internasional setelah keluarnya resolusi PBB nomor 2216. Resolusi ini mengisyaratkan bahwa kekuasaan mereka tidak sah dan hanya bersifat sementara sehingga harus segera diakhiri sesuai kehendak rakyat Yaman dan masyarakat internasional.* (Bersambung)
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Yaman